Diaspora, sensasi situs anti facebook

 

Dunia telah marah dengan sikap Facebook yang mengkomersiilkan informasi pribadi penggunanya. Langkah empat mahasiswa NYU yang membuat jejaring sosial tanpa khawatir privacy telah menjadi fenomena sendri.

Empat mahasiswa ‘culun’ New York University (NYU) itu memiliki ide untuk membangun jejaring sosial yang tidak akan memaksa orang menyerahkan privasi mereka, kepada pebisnis besar semacam, Facebook.

Rencana ini menghabiskan waktu sekitar tiga hingga empat bulan untuk menulis kode, dan mereka butuh ribuan dolar AS (puluhan juta rupiah) untuk menghidupkannya.

Mereka memberi target pada diri sendiri 39 hari untuk mendapatkan USS10 ribu (Rp 91 juta) melalui situs online Kickstarter yang membantu para individu kreatif mendapatkan dukungan. Ternyata apa yang mereka harapkan mendapat sambutan.

“Kami sangat terkejut,” kata salah satu dari 4 mahasiswa ini Dan Grippi yang berusia 21 tahun. “Untuk beberapa alasan aneh, semua orang setuju dengan keseluruhan privasi itu.”

Mereka mengumumkan rencananya pada 24 April lalu. Mereka berhasil mendapatkan target 10 ribu dolar AS ini hanya dalam waktu 12 hari dan uang terus datang. Uang senilai US$100.000 (Rp 9 miliar) telah mereka kumpulkan. “Mungkin hanya 2 atau 3 persen uang tersebut dari orang yang kami kenal,” kata Max Salzberg, 22 tahun.

Selain mereka berdua, masih ada Raphael Sofaer (19 tahun) dan Ilya Zhitomirskiy (20 tahun) yang menjadi “empat anak muda aneh bertalenta”. Salzberg mengatakan mereka semua bertemu di Courant Institute, New York University .

Mereka menyebut rencana itu dengan nama Diaspora* dan berencana mendistribusikan software tersebut gratis. Anak-anak muda ini membuat kodenya terbuka sehingga programmer lain dapat mengembangkan perangkat lunak ini.

Mereka menggambarkan Diaspora* sebagai software yang mengizinkan pengguna membuka server pribadi mereka sendiri (dinamakan ‘benih’), menciptakan pusat mereka sendiri dan sepenuhnya mampu mengontrol pertukaran informasi yang mereka inginkan.

Pengamat teknologi menyebut proyek itu sebagai anti-Facebook. Sofaer mengatakan jaringan terpusat seperti Facebook tidaklah diperlukan. “Di kehidupan nyata, kita berbicara dengan satu sama lain,” kata Sofaer.

“Kita tidak butuh menggunakan pesan sebagai pusatnya. Apa yang Facebook berikan pada Anda sebagai pengguna bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan. Semua permainan kecil, wall kecil, obrolan kecil, semuanya bukanlah hal yang sulit ditemui. Teknologi ini sebenarnya telah ada.”

Perusahan jejaring sosial terus mengumpulkan lebih banyak informasi penggunanya. Informasi ini dapat dijual pada pihak marketing. Beberapa anak muda kini menjadi berhati-hati saat memasukkan apapun ke situs tersebut. “Saat Anda memberikan data, maka Anda memberi informasi ini untuk selamanya,” kata salzberg.

Grup Diaspora* terinspirasi setelah mendengar pembicaraan dari Eben Moglen, profesor hukum di Columbia University yang menggambarkan situs jejaring sosial terpusat sebagai “mata-mata gratis’.

Keempat mahasiswa ini bertemu di ruang komputer di NYU dan menghabiskan setiap menitnya di sana selama beberapa bulan. Mereka memahami daya tarik situs jejaring sosial.

“Tentu saja sebagai mahasiswa kutu buku, kami tidak memiliki tempat apapun untuk pergi,” kata Salzberg. “Kami benar-benar kutu buku. Kehidupan sosial saya benar-benar runtuh setelah menghabiskan waktu untuk mempertahankan IPK dan melakukan ini,” tambah Sofaer.

Seorang dosen dan peneliti media digital di NYU, Finn Brunton, mengatakan bahwa rencana mereka, yang tidak melibatkan raksasa penguasa keuangan merefleksikan kembalinya para geek klasik.

Brunton mengatakan permintaan akan jejaring sosial yang memberikan kontrol pada pengguna begitu kuat. “Setiap orang yang berbicara kepada saya mengatakan, ya Tuhan, saya telah menunggu sesorang untuk melakukan hal ini’.”

Setidaknya telah ada sekitar dua rencana soal desentralisasi jaringan ini, kata Brunton. Namun dia mengira bahwa kelompok Diaspora* memiliki rencana yang lebih tegas. “Ini cukup sukses mengumpulkan dana,” kata Brunton.

Fenomena ini menunjukkan ketidakpuasan mengenai masalah privasi di situs jejaring sosial. “Kita akan melihat betapa luasnya ini akan berkembang dan diadopsi oleh non-kutu buku,” kata Brunton.

Kru Diaspora tidak ragu soal luasnya kekuatan situs jejaring sosial karena berhasil mendapatkan lebih dari dua ribu pengikut “joindiaspora” di Twitter hanya dalam beberapa minggu. “Banyak orang yang berpikir bahwa ini harus ada,” kata Salzberg.